Minggu, 12 Juli 2015

Yes, I am A Girl Who Fall in Love with The Folk Song (I)



­­­
Saya bisa secara tiba-tiba punya keinginan random, kadang malah lebih menjurus ke weird. Suatu ketika saya merasa ingin seseorang bermain gitar dan menyanyikan beberapa lagu untuk saya, lagu-lagu yang romantis, romantis versi saya tentunya. Atau bila dia tidak mau menyanyikan lagu  khusus untuk saya, kita bisa menyanyikannya bersama, di kala senja. Bukankah itu romantis? Haha ini keinginan sederhana yang ingin saya wujudkan segera. Saya mulai berpikir siapa yang bisa dan yang paling penting MAU melakukan hal-hal ini untuk saya. Dan kemudian muncul satu nama, Faizul Mubarok, seorang teman lama yang paham musik dan tentu saja paham dengan tingkah polah serta pikiran random saya.

Bermodal rayuan “Ahh, ijul masa gitu aja gak mau sih?”. Dan Ijul-panggilan Faizul Mubarok, meng-iyakan permintaan saya.

Jadi Vera lagi suka dengerin lagu apa?”
Pertanyaan ini mengawali perbincangan kita mengenai musik malam itu. Membicarakan musik bersama Ijul selalu menyenangkan dan menarik. Karena saya bukan ahlinya di bidang ini. Tak ada satupun alat musik yang saya kuasai, saya buta nada, dan nada-nada sering kali saya nyanyikan dengan acak-adul-nggak-karuan. Dan ijul, berkebalikan dengan saya. Emm ijul mungkin bukan master/ahlinya dalam bermusik (eh, maaf jul!) tapi dia jauuuuh lebih baik lah ketimbang saya. Saya hanya penikmat musik, telinga saya lebih nyaman mendengar senandung dari musisi-musisi indie. Dan ini sekali lagi membuat topik musik menjadi asyik bersama Ijul.

Saya sedang kecanduan lagu-lagu Banda Neira, Adhitia Sofyan, dan Dialog Dini Hari (DDH) belakangan ini. Jadi saya ‘request’ lagu-lagu itu untuk ijul nyanyikan nanti. Dan tentu saja Ijul yang pengetahuan musiknya lebih luas dari saya, langsung tahu lagu-lagu dari musisi yang saya maksud diatas.

Aha!! Benar dugaanku Vera ini A girl with the folk song
Dan oke disinilah saya baru ngeh, bahwa lagu-lagu yang familiar di telinga saya, yang sering kali saya putar di saat apa saja adalah ber-genre FOLK! Dan saya baru sadar setelah harus disadarkan oleh orang lain (thanks to Ijul!)  Padahal lagu-lagu ini tidak saya dengarkan baru-baru ini saja. Sebut saja ERK, Payung Teduh, dan The Smiths saya sudah jatuh cinta sejak saya duduk di semester awal masa kuliah. Dan setelah 3 tahun kemudian  kemudian saya sadar saya sudah jatuh cinta pada Folk Song! Haha entahlah ini lucu bagi saya.

Like the feel of being fall in love with someone, What I feel to this genre-Folk Song-is just flows unconsciously. Without knowing when and how it’s start, it is just happens  ­­. Yes, I am A Girl Who Fall in Love with The Folk Song!

Ahh Adhitia Sofyan, musiknya senja bangeet..coba dengerin Float –Sementara, Ver itu kamu banget!
Dan iya sedetik saya mendengarnya, saya langsung jatuh cinta! Dan malam itu saya semakin keranjingan membahas FOLK Song.  Berikutnya ada The Trees and The Wild, Frau, Nadia Fatira, The Adam, Silampukau, Angsa dan Serigala dan banyaaak lagi untuk musisi Indonesia. Dan ada musisi luar dan beberapa diantaranya British seperti : The Cardigans, The Smiths, Morissey, The Beatless, Jeff Buckley, The Velvet Underground, Lana Del Rey, dan ohh banyak!. Beberapa musisi diatas sudah familiar bagi saya, tapi sebagian saya baru dengar namanya.

Ijul memberi sebutan ‘Lady In Folk’ buat saya dan Oh ya dengan sangat baik hati ijul membuatkan list-list ‘lagu-wajib-dengar’ untuk menambah referensi Folk Song. You can also check this list below!
ini tulisan asli ijul-bukan saya, tulisan tangan saya lebih bagusan dikitlah, LOL!

PS: judul tulisan ini ada "(I)"-nya, dengan harapan lain kali saya bisa menulis lagi tentang Folk Song. Dan tentu saja saya masih mencari-cari makna dan referensi untuk Folk Song itu sendiri. Maklum saya buta nada dan buta genre musik :(

Sabtu, 11 Juli 2015

Renungan Siang



Disilah saya pada suatu siang yang membosankan.
Dalam suasana hati yang tidak baik-gelisah dan mood yang buruk. Bosan setengah mati. Celakanya tidak ada hal menarik yang dapat dilakukan untuk paling tidak membunuh waktu ini secara perlahan. Sungguh celaka! Mungkin kalian berpikir untuk menyuruh saya tidur saja? Hal ini sudah kulakukan dari jam 7 hingga jam set 10 pagi ini
 
Banyak orang berpendapat media sosial adalah cara yang ampuh untuk melewatkan waktu-waktu yang membosankan. Well, biasanya saya selalu begitu. Mengecek post dan update terbaru di Path – siapa sedang apa, mereka sedang dimana, makanan apa yang mereka makan, apa music yang saat ini mereka dengarkan, tempat nongkrong mana yang sedang hits. Membuka Instagram-melihat foto-foto dengan panorama indah, atau artis-artis dengan kecantikan mereka, oh tidak lupa berbagai produk yang di jual secara  online. Sekedar mengecek WA atau LINE, apakah ada cerita lucu di grup, ada balasan chat dari seseorang. Atau membaca artikel-artikel menarik melalui Google. Okeee semua itu sudah saya lakukan sedari tadi…….dan saya mulai muak membuka Path, lalu pindah ke IG, pindah ke LINE atau WA, atau membuka google dan tidak menemukan apapun. Oke saya menyerah dengan media sosial

Game? Sayangnya saya bukan orang yang suka nge-game, saya tidak pandai memainkannya, dan sering kali gagal, bahkan di level-level awal permainan..dalam permainan apapun hahahaha
Membaca buku? Emm ya saya biasanya melakukan ini di banyak kesempatan, bahkan curi-curi waktu di tengah padatnya kerjaan di kantor. Tapi giliran saya punya banyak waktu senggang seperti ini, tidak ada buku bagus yang siap untuk dilahap. Oh baiklah.

Saya beralih ke laptop, melihat apa yang ada disana, sesuatu yang menarik untuk dilakukan. Saya menyalakannnya, tapi kemudian hanya memandangnya lumayan lama tanpa tahu aplikasi apa yang sebaiknya saya buka

Beberapa tulisan yang saya buat masih belum rampung-hanya menjadi draft yang belum juga di post-kan. Saya berniat menyelesaikannnya, tapi akhirnya saya malah membuka suatu lembar Word baru-yang masih putih bersih. Lalu saya mulai menuliskan ini, menuliskan apa yang terjadi dan yang saya rasakan saat ini. Kebosanan, kejenuhan, dan kegelisahan ini.

Sebenenarnya siang-siang membosankan yang terjadi seperti hari ini, juga acap kali terjadi di hari-hari sebelumnya. Dan frekwensinya sedikit lebihbanyak terjadi akhir-akhir ini. Ah, mengapa ini terjadi? Semangat saya melemah akhir-akhir ini. Saya hanya menjalani hari, tanpa ada makna berarti.  Masuk jam 7.30 di hari kerja, duduk di kursi yang sama di depan komputer kantor, danberharap jam di dinding menunjukkan jam 17.00 segera. Di akhir minggu, saya pergi kerumah ibu dan bersantai disana. Errr saya cinta pekerjaan saya, juga suasana rumah ibu, sungguh. Tapi entahlah perasaan ‘ada yang kurang’ seperti saat ini masih suka mampir di hari-hari panjang tanpa tahu apa yang harus dilakukan.

Mengapa demikian? Perlu waktu yang lumayan lama, dan sedikit memaksa hati dan otak saya untuk berperan serta menjawab satu pertanyaan sederhana, dengan jawaban yang tidak pernah sederhana.
Maka saya sampai pada sebuah hipotesis- bukan kesimpulan, yang sebenarnya saya yakini kebenarannnya. Jadi mengapa? Jawabannya adalah karena saya tidak pernah bermimpi akhir-akhir ini, saya terlalu takut bermimpi akhir-akhir ini, dan saya TIDAK PUNYA MIMPI-tidak punya tujuan ambisius yang ingin saya wujudkan.
Saat saya bertanya pada diri sendiri:
Apa yang saat ini saya inginkan? Jawabannya tidak ada….
Jadi apa yang saat ini ingin saya lakukan? Ahh give me a second….emmm tidak tahu
Jadi kamu hanya akan menjalani ini begitu saja? Ah entahlah….

Tapi tunggu, sebenarnya di bagian diri saya, dibagian yang lebih kecil. Saya punya banyak mimpi-mimpi ambisius yang sangat ingin saya wujudkan. Hanya saja saya terlampau pengecut untuk mengharapkannya jadi nyata. Punya mimpi tapi tidak berani mengambil langkah nyata mewujudkannya. Saya aneh ya?
Begini contohnya, Saya menyukai seseorang belakangan ini (kalau saja 2 tahun bisa disebut sebagai “belakangan ini”).  Saya sangat menginginkannya, bisa jadi sebagai seseorang yang menemani saya untuk tahun-tahun selanjutnya. Ah sayamemimpikannya…..lalu kemudian pikiran lain yang asalnya juga dari diri saya berkata begini: “Ver, sadarlaah…ini sudah tahun kedua kau memimpikannya dan tidak juga menjadi nyata, sudah lupakanlah dia! Kamu tidak pantas untuknya!” lalu saya mulai membuang mimpi itu…….dan begitulah yang terjadi pada mimpi-mimpi  yang lain. Menjadi terang, lalu saya meredupkannya sendiri.
Sesuatu yang paling kitacintai, sesuatu yang paling kita inginkan apabila tidak menjadi nyata akan membawa kita kepada kekecewaan. Saya pengecut pada kekecewaan. Sehingga saya banyak melupakan mimpi-mimpi dan tujuan yang selama ini muncul di kepala saya. Saya menulisnya di sebuah kertas, lalu sedetik kemudian saya meremas kertas itu dan melemparnya keujung ruangan. Barangkali itulah yang banyak terjadi pada mimpi saya.

Well, saya mengakhiri tulisan kali ini dengan membuka lembar baru  Word. Lembar baru yang putih bersih, dan saya siap menuliskan mimpi-mimpi itu disana. Saya (semoga) siap untuk mewwujudkannya. Saya berharap lembar itu tidak hanya menjadi draft-yang tidaksempat di postkan. Dan saya lebih berharap lagi, akan ada tanda centang disamping mimpi-mimpi itu. Wish me luck!

PS: saya berhasil mengusir kebosanan dan punya sesuatu untuk dilakukan kan akhirnya?

Jumat, 03 Juli 2015

JUMAT 03072015 14:50



Jumat, 03 Juli 2015 14:50

Dari computer sebuah kantor saya menuliskan ini. Kantor yang dulu adalah sebuah mimpi. Dulu saat masih menjadi seorang mahasiswa, atau masih menjadi pengangguran, yang sebenarnya sama sekali tidak menganggur, karena terlampau sibuk kesana-kemari mengejar kesempatan bekerja. Percayalah bahwa mencari pekerjaan, terutama pekerjaan impianmu adalah bukan perkara mudah! Sudah percayalah, karena saya sudah merasakannya, dan cepat atau lambat kau juga akan melewati fase itu. Seperti fase mengerjakan-skripsi-dengan-dosen-pembimbing-killer.

Maka kantor ini lah yang menjadi salah satu impian-list nomor satu- bagi saya untuk memulai karier. Dan disinilah sekarang saya berada, dibalik kubikel kecil berhadapan langsung dengan layar computer dan menuliskan kisah ini.

Mimpi yang menjadi kenyataan? Saya akui iya. Tapi tentu saja mimpi ini diraih bukan dengan begitu saja. Bukan kisah dunia dongeng, ketika semua yang kamu mau bisa dikabulkan dengan sekali ayunan tongkat sihir ibu peri. Haha! Karena nyatanya untuk bisa menuliskan kisah ini dari balik meja di kantor ini, sungguh perjuangannya, jangan lagi ditanya.

Bersyukur? Tentu saja! Allah memberikan pekerjaan yang menjadi list nomor satu saya. Emm mungkin bukan saja list nomor satu bagi saya, tapi juga bagi kedua orang tua saya. Mewujudkan mimpi ini, berarti juga mewujudkan mimpi kedua orang tua saya, maka berlipat ganda rasa syukurnya! Entah bagaimana saya selalu berpikir, Allah akan memberikan apa-apa yang menjadi mimpi bagi saya, tapi sekali lagi tidak pernah dengan cuma-cuma. Sebelumnya Allah akan memberikan jalan yang panjang, berliku, dan bahkan sesuatu yang dulu saya menyebutnya sebagai musibah. Tidak jarang saya harus menangis, harus terjatuh, tersungkur, dan berakhir pada sujud di malam-malam panjang, meminta kepada Allah. Dan sekali lagi saya bersyukur kepada-Nya, malam-malam panjang itu tidak pernah sia-sia. Malam-malam panjang menjadi hikmah-hikmah yang panjang yang akan berguna tidak hanya untuk satu dua hari, tapi selamanya.

Ibu saya pernah berkata begini: Apakah yang paling nikmat ketika kamu sedang melewati masa-masa sulit?
Tentu saja tidak ada nikmatnya, karena itulah masa-masa itu disebut ‘masa sulit’. Begitulah pikir saya dalam kepala, pikiran cetek tentu saja.

Beliau meneruskan dengan memberikan jawaban bijak begini: kak, waktu kamu melewati masa sulit kamu akan berusaha sekeras mungkin untuk mendekat kepada Allah, dengan doa, dzikir, sholat, meminta sepenuh hati dalam sujud bahkan tekadang dengan tangis. Maka disitulah nikmatnya, kak. Cobalah dan kamu akan menemukan dan merasakan kenikmatan itu. Nikmatnya berusaha dekat kepada Allah SWT.

Begitulah, nasehat itu terngiang terus di kepala dan meresap dalam hati. Bersyukurlah untuk apapun yang diberikan. Semua yang buruk tidak akan melulu buruk, akan ada hal baik yang menanti. Bahkan yang terburuk sekalipun masih terdapat hal baik di dalamnya. Seperti yang dulu-dulu. Kutulis ini untuk menjadi sebuah pengingat. Pengingat atas besarnya berkah yang diberikan dan pengingat untuk selalu bersyukur kepada-Nya.



Rabu, 10 Juni 2015

Mengapa Harus Menulis?



“Berita buruk dan menyedihkan akan semakin menyakitkan ketika disampaikan dalam bentuk tulisan."


Entahlah aku lupa tepatnya kapan dan dari siapa aku mendengar pernyataan itu. Tapi memang benar adanya. Hal-hal buruk akan semakin menyakitkan untuk diketahui apabila disampaikan melalui media tertulis. Mengapa? Karena kita dapat berulang kali membacanya, dan berulang kali pula kita merasakan kecewa, sedih, dan sakit hati ketika membacanya kembali. Ah, percayalah  tidak ada yang akan pernah terbiasa dengan serangan sakit hati, tidak!

Begitu pula yang terjadi pada berita baik yang disampaikan dalam bentuk tulisan. Akan ada saatnya kita tersenyum sendiri ketika membaca ulang chat dari pacar-gebetan-atau selingkuhan (?). Akan ada saatnya kita akan merasa bahagia setiap membaca hal-hal yang menggembirakan, membacanya akan mengingatkan pada momen-momen membahagiakan itu.

Itulah poin pentingnya, tulisan membuat kita tidak akan pernah lupa. Tidak lupa pada hal-hal yang buruk. Tidak lupa juga pada saat yang membahagiakan itu. Kita hidup dalam dunia yang terus berjalan maju tanpa ada tombol pause atau rewind. Momennya mungkin saja dapat terulang kembali, tapi waktu? Selama para ilmuwan belum juga menemukan mesin waktu, maka waktu akan terus bergerak maju. Kita hidup didalamnya, dalam sehari penuh dengan banyak kejadian dan momen, sementara otak kita tidak punya daya sebesar itu untuk menampung setiap momen, setiap pembelajaran. Untuk itu kita menulis, kan?

Sering kali aku menulis, untuk mengingatkan diriku sendiri. Mengingatkan diriku untuk tidak terlalu berharap banyak tapi tetap memiliki mimpi dan fantasi yang berusaha untuk diwujudkan. Mengingatkan diri sendiri tentang banyaknya sesuatu yang dapat dipelajari –kehidupan, agama, social dan apapun, pelajaran yang mungkin hanya didapat dari ngobrol remeh-temeh dengan seorang teman. Mengingatkan diri sendiri ingin jadi siapa, apa, dan bagaimana di masa depan, mengingatkan diri sendiri akan banyaknya momen yang perlu diperbaiki dan juga disyukuri. Bila tidak ditulis? Yaaa mereka semua hanya akan terlewatkan begitu saja. Manusia kan tempatnya lupa. Haha

Kenapa harus ditulis? Supaya bisa dibaca kembali.
Paling tidak dibaca kembali oleh si penulis. Syukur-syukur bisa dinikmati oleh pembaca lainnya.
Bisa menginspirasi dan pengingat bagi diri sendiri. Ya syukur-syukur bisa menginspirasi dan mengingatkan orang lain yang mau ikut membaca.
Bila tidak menulis, kita hanya akan hilang ditelan gelombang lupa, hilang ditelan jaman.


“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer


Senin, 08 Juni 2015

Bahagia yang Sesederhana ini..



Ekonomi 4 :17c
Itu adalah deretan huruf dan angka yang menunjukkan dimana aku harus duduk- Gerbong 4 kursi nomor 17c. Kereta ekonomi penataran ini akan menghantarkan ku kembali ke Malang dari Stasiun Gubeng, Surabaya.Sendirian duduk diantara 3 bangku yang saling berhadapan. Sibuk memasang  headset dan sudah siap untuk terlelap sepanjang perjalan.

10 menit dari Gubeng, kereta berhenti di Stasiun Wonokromo. Deretan bangku yang kosong disamping dan di hadapanku kini terpenuhi oleh 5 orang-mereka satu keluarga. Seorang ayah, ibu dengan ketiga anaknya-yang semuanya laki-laki. Mereka sibuk menaikkan barang bawaan, aku? masih sibuk dengan smartphone, membaca ini itu, mendengarkan lagu ini itu.

Lalu akhirnya, aku yang awalnya tidak peduli¸menjadi tertarik untuk mengamati mereka. Si bungsu duduk tepat di depanku, terdekat dengan jendela. Usianya mungkin sama dengan adikku yang masih SD. Menjadi bahan gojlokan untuk kedua kakaknya yang duduk disampingku. Bukan gojlokan menghina, bukan, ini gojlokan sayang. Belum beberapa lama kereta beranjak dari Wonokromo, si Bungsu sudah terkantuk-kantuk. Sang ibu memindahkannya ke bangku tengah agar dia bisa tidur dengan lebih nyaman.

Ibu mereka seperti ibu-ibu pada umumnya, gemuk, berkerudung, sedikit cerewet, tapi seperti ibu lainnya, Beliau memancarkan kasih sayang. Sang ayah duduk di sisi terjauh dariku. Sejak pertama duduk, Beliau sudah menebarkan senyum lembut, “Turun dimana, Mbak?”. Di Stasiun Lawang, jawabku. Usianya tak lebih tua dari ayahku, sinar matanya lembut, teduh, dan ramah tentu saja. Sesekali aku ikut tersenyum mendengar guyonan dari anak-anak mereka, dan si Bapak ikut tersenyum ke arahku seakan berkata, “ya begini lah, anak-anak saya harap maklum, Mbak”. Dua anak laki-lakinya yang lain, aku tak begitu tau-yang jelas berperawakan sama seperti ibunya. Seorang Mahasiswa di Malang, dan yang satu lagi entahlah, Ku tebak masih duduk di Bangku SMA.

Kereta terus melaju, tidak ada yang bisa dilihat atau diamati dari dalam situ. Karena jendela hanya menunjukkan satu warna dominan-hitam pekat.  Maka sekali lagi aku mengamati keluarga ini. Tidak bisa dibilang sebuah keluarga kecil, karena mereka bertubuh yang memang tidak kecil.  Mereka kedinginan, karena memang AC kereta kelas ekonomi di setting dengan suhu yang rendah. Menyejukkan di saat siang hari, tapi tentu menggigilkan saat malam seperti ini. Sang Ibu mengeluarkan beberapa lembarkain-yang merupakan kerudungnya-untuk anak-anaknya yang mulai kedinginan. Mempererat pelukannya pada si Bungsu, agar tidurnya semakin lelap.

Maka cerita dan percakapan dimulai, Sang ayah menceritakan apapun tentang masa lalunya,tentangBung Karno, tentang sekolahnya dulu, tentang Ibu mereka, tentang apa saja. Dan kedua anak lelakinya menanggapi dengan celetukan-celeukan lucu, sekali lagi aku tersenyum mendengar mereka. Sang ayah bercerita dengan santai, Sang Ibu menambahkan ini-itu pada bagian cerita yang mungkin Sang Ayah ragu atau lupa detailnya. Ah iya! Yang menarik kedua anak mereka masih menggunakan bahasa jawa halus untuk berbicara dengan orang tua mereka. Berbicara dan menanggapi dengan rasa hormat dan santun. Bukan hormat karena takut, tapi karena hormat yang sesungguhnya.
Berada bersama mereka yang mungkin tidak lebih dari 2 jam ini rasanya menyenangkan. Suasana, kesederhanaan, dan rasa nyaman yang terjalin diantara mereka semua.

Tidak ada yang istimewa, semua seperti yang seharusnya dalam sebuah keluarga. Mungkin karena hal-hal sederhana dan biasa sudah jarang ditemukan disekitar kita. Mereka hanya saling menyayangi tanpa pamrih, mereka hanya saling menghormati tanpa ada paksaan untuk melakukannya. Genuine, sincerity!
Keluarga, Sungguh bahagia bisa sesederhana ini.
Emm, ini hal biasa-sangat biasa bagi sebagian besar orang. Sesuatu yang biasa yang kadang aku merasa tak memilikinya. Haha, entahlah tidak kurasakan rasa yang seperti itu, sesederhana itu. Bukan, karena aku tak cinta keluargaku, jangan ditanya betapa aku cinta mereka-terutama Ibuku! Tapi ada beberapa hal sederhana dan biasa yang terenggut dari keluarga kami, sebelum aku mampu menyadari apa arti keluarga. Lupakan yang sudah lalu-bukankah harusnya begitu?

 Stasiun Lawang, membuatku harus turun dan berhenti mengamati keluarga ini. Mereka masih akan melanjutkan perjalanan hingga Stasiun Wlingi, Blitar. Di Dalam angkot, jauh dari keluarga itu, entahlah masih teringat rasa hangat dan nyaman itu-bahkan aku masih tersenyum kecil ketika menuliskan ini. Ku tulis ini memang, agar aku ingat bahwa rasa nyaman dan bahagia itu bisa sesederhana ini. Sesederhana ini pula lah aku ingin memilikinya untuk nanti, masa depanku, untuk nanti yang akan menjadi keluarga kecilku. Kepada siapa, kapan, dan dimana aku bahkan tidak tahu menahu. Tapi tentu saja mengharapkan sesuatu yang membahagiakan, tidaklah salah kan? Tidak perlu yang muluk-muluk, asal nyaman, sayang, dan rasa hangat yang dapat dirasakan bahkan ketika tidak bersama. Karena Entahlah, ternyata Bahagia bisa sesederhana ini.