Rabu, 27 April 2016

Terimakasih Jogja, Karena Telah Memberi kesempatan Bagi Kami Untuk Mendefinisikan Makna "KITA"



Ku turuni tangga kecil kereta api Malioboro Ekspress. Langkahku tidak begitu semangat kali ini, padahal dalam bayanganku Jogja akan membuatku tersenyum dengan langkah yang lebih riang ketika pertama kali menginjakkan kaki. Berjalan lunglai, dan melihat pemandangan sekitar. Sebenarnya tidak banyak yang bisa dilihat dari Stasiun Tugu-Jogja pada jam 04.00 pagi ini. Pemandangan didominasi orang-orang yang masih terkantuk-kantuk, beberapa malah sudah tertidur pulas di kursi-kursi tunggu.Tidak banyak percakapan, suasana redup karena penerangan hanya berasal dari lampu-lampu dengan binar kekuningan. Aku makin lesu, menggendong tas ranselku untuk duduk di salah satu bangku kosong itu.

Jogja kali ini sebenarnya aku tidak pernah tahu akan menginap dimana, akan pergi kemana, akan mengunjungi apa saja. Karena yang ku tahu aku akan bertemu denganmu, dan asal bersamamu aku tahu semua akan baik-baik saja. Well, memang banyak hal aneh yang akan muncul karena satu atau banyak hal, tapi aku tahu kamu akan menemukan solusinya, dan membuatku nyaman kembali.

Bolehkah sedikit kuceritakan ke”aneh”an yang dulu pernah kita alami? Kamu terlambat menjemputku pada pertemuan pertama kita, karena tidur yang berkepanjangan, padahal ini untuk pertama kalinya aku sendirian menginjak kota Surabaya. Hujan lebat dan kita terjebak bersama ratusan-atau mungkin ribuan-nyamuk rawa hingga langit menggelap. Dan ketika kamu mengunjungi Kota-ku, Malang, hujan ternyata terus membuntuti kita. Itulah sebabnya dulu hujan selalu mengingatkanmu.
 Kita pernah berlarian malam hari di Lapangan Koni, Surabaya, berlari dengan kencang agar bisa melihat Angsa Serigala live on stage, dan oke sayangnya kita salah masuk gedung konser. Mungkin saat itu atlet-atlet panah itu memandangi kita dengan aneh. Ya kita memang aneh.

Tiga jam, hingga akhirnya handphoneku berdering. Seketika itu kunang-kunang kembali muncul menyeruak dalam perut. Kau sudah menungguku di pintu keluar.

Disanalah kau berdiri, dengan celana  jeans yang sama, dengan setelan jaket yang sama, dengan wajah yang sama…Sama seperti terakhir kali aku melihatmu 11 bulan yang lalu di Hutan mangrove, Surabaya. Haruskah aku menghembuskan nafas lega, haruskah aku tersenyum bahagia, haruskah aku melompat girang dan memelukmu saat itu juga. Iya aku sangat ingin melakukannya, tapi alih-alih melakukan itu, aku malah memperlambat langkahku, tak kuasa menatapmu, karena entah mengapa....aku malu dan gugup bercampur menjadi satu. Tapi sungguh aku Rindu!

Tahu kah kamu? Ada satu yang paling aneh dari semua hal aneh yang terjadi pada kita, status hubungan kita. Hingga akhirnya bertemu lagi di Jogja setelah hampir setahun tidak berjumpa, aku masih belum bisa mendefinisikan apa yang sedang kita jalani saat ini. Karena aku tidak rela bila hubungan ini disebut sebagai pertemanan biasa, tapi aku juga tidak berani untuk menyebutnya sebagai sebuah kisah cinta.  Dua tahun tanpa definisi yang jelas telah membuatnya menjadi semakin rumit, usang dan melelahkan. Iya, jujur aku telah lelah dengan ini, tapi selelahnya aku, nyatanya saat ini aku masih berjalan beriringan denganmu menyusuri Malioboro di pagi hari.

Hal yang paling menyakitkan adalah ketika harus mengingatkan diri sendiri, bahwa ini bisa saja berakhir nelangsa seperti yang sudah-sudah. Yang paling memilukan adalah kita berjalan beriringan seperti ini, tapi aku harus terus –menerus mengingatkan diri sendiri untuk tidak meraih tanganmu secara tiba-tiba. 

Ku penuhi memori kamera hapeku dengan foto kita berdua di benteng itu, di taman sari itu, di setiap sudutnya, di setiap aku mendapat kesempatan. Paling tidak aku punya sesuatu untuk diingat nanti. Karena kenangan kita yang lalu? Sudah hilang satu-persatu bersamaan aku menghapus kontakmu saat itu.

Berjalan menyusuri jalanan jogja, naik turun angkutan becak, makan malam di pinggiran angkringan jogja, diskusi panjang kita mengenai apa yang terjadi pada Indonesia, cerita seru tentang hidup kita, menikmati lantunan lagu-lagu dari pengamen jalanan. Semua begitu menyenangkan bersamamu, waktu begitu cepat berlalu bersamamu. Hingga akhirnya kamu mengatakan, “Ada sesuatu yang akan kuceritakan padamu, harus kuceritakan sekarang, karena dulu aku belum bisa menceritakannya….”
----
Malam telah larut, sepanjang perjalanan menuju kemari aku sudah berkali-kali menguap. Tapi berada disini sekarang, beratapkan ribuan bintang, duduk disampingmu, kantukku hilang seketika. Hening. Yang ku dengar hanyalah tarikan nafas dan juga hembusan panjang darimu. Kau duduk dengan gelisah di sampingku. Aku tahu kau akan menceritakan segalanya, kau hanya bingung memulainya dari mana. Karena aku tahu kau bukan seorang pencerita yang baik, setidaknya tidak selihai aku dalam mengungkapkan apapun dalam kata-kata.

Tapi, kali ini aku tidak bisa membantumu untuk mengungkapkan apapun yang akan kau katakan. Karena aku, Aku sama gelisahnya denganmu. Jadi kuputuskan untuk diam, menunggumu siap menceritakan kisahmu.
Kamu memulainya dengan lambat, satu dua kata yang terputus, kemudian semua cerita itu mengalir dengan lancar

Aku tidak kuasa menoleh , karena aku sudah menjadi kaku dan lidahku telah kelu. aku hanya memandang langit dengan tatapan kosong. Bintang bersembunyi dilahap terangnya lampu-lampu kota Jogja. Aku sekali lagi jelas tahu bahwa disebelahku, kau sedang berusaha menahan segala emosi yang ikut meluap bersama ceritamu, seiring dengan suaramu yang sesekali bergetar. Aku ingin menenangkanmu, memelukmu, atau sekedar menepuk pundakmu, tapi aku tak mampu, sungguh aku hanya tersihir dengan apa yang aku dengar.
Bagaimana kamu mengungkapkan sebuah rahasia yang kamu pendam sendiri selama ini. Rahasia yang menjadi alasan mengapa kamu selama dua tahun menolak sebuah komitmen yang ku tawarkan. Selama lebih dari dua tahun
………………..
Setidaknya, terimakasih Jogja, karena telah membuat kamu bisa menceritakan begitu banyak luka dan rahasia yang terlalu lama kau pendam sendiri. Terima kasih Jogja, karena setidaknya memberi kesempatan pada kami-aku dan kamu- untuk mendifinisikan apa yang sedang dan akan kita jalani selanjutnya. Terima kasih Jogja, karena setelah dua tahun ini, akhirnya aku bisa menyebutmu sebagai seorang kekasih yang ku banggakan.

Senin, 18 Januari 2016

PROLOG :



Ini bukan liburan. TIDAK, kita tidak sedang merencanakan liburan biasa, karena aku tahu akan banyak  yang berubah setelah pertemuan kita kali ini.

Satu setengah bulan kita merencanakan keberangkatan ke kota Jogjakarta, kamu dari kotamu dan aku dari kotaku. Satu setengah bulan yang menjadi semakin lambat karena dilabeli dengan kata “menunggu”. Dan satu setengah bulan yang masih penuh tanya untukku, benarkah bisa bertemu?
Hatiku menciut ketika tahu kamu kehabisan tiket kereta menuju Jogjakarta dua minggu sebelum pertemuan yang kita jadwalkan. Aku semakin tidak percaya akankah kita bisa benar-benar bertemu? Aku tahu kamu mengusahakan dan juga berusaha menenangkan. Tapi apa daya, pikiran negatif begitu cepat dan kuat membayangi. Ketika tiket Bis malam akhirnya menggantikan tiket kereta, ketika tiket bis malam sudah ada di genggamanmu, nyatanya pikiran negatif dan kekhawatiran ini tak kunjung mau pergi.
Tiga hari sebelum kita dijadwalkan bertemu di Jogja ada gejala baru yang mulai berkembang di tubuhku, perut mulai sering dipenuhi kunang-kunang yang bahkan aku sendiri tak paham dari mana asalnya. Nafsu makan berantakan, semua isi perut menuntut keluar-walau akhirnya segala puncak mual ini hanya tercekat di tenggorokan saja. Tingkat kecemasanku berbanding terbalik dengan waktu pertemuan kita.  Semakin dekat harinya semakin tinggi tingkat kecemasannya. Oke sebut s aja aku terlalu berlebihan tapi nyatanya begitulah tubuh ini merespon segala kegelisahan kala itu.

Hitungan hari menjadi hitungan jam saja. Malam itu aku duduk menunggu datangnya sebuah kereta yang akan membawaku ke sebuah kisah nyata, entah berujung indah atau duka. Jogja dan kamu, tunggu aku. (2015/8/7)