Senin, 08 Juni 2015

Bahagia yang Sesederhana ini..



Ekonomi 4 :17c
Itu adalah deretan huruf dan angka yang menunjukkan dimana aku harus duduk- Gerbong 4 kursi nomor 17c. Kereta ekonomi penataran ini akan menghantarkan ku kembali ke Malang dari Stasiun Gubeng, Surabaya.Sendirian duduk diantara 3 bangku yang saling berhadapan. Sibuk memasang  headset dan sudah siap untuk terlelap sepanjang perjalan.

10 menit dari Gubeng, kereta berhenti di Stasiun Wonokromo. Deretan bangku yang kosong disamping dan di hadapanku kini terpenuhi oleh 5 orang-mereka satu keluarga. Seorang ayah, ibu dengan ketiga anaknya-yang semuanya laki-laki. Mereka sibuk menaikkan barang bawaan, aku? masih sibuk dengan smartphone, membaca ini itu, mendengarkan lagu ini itu.

Lalu akhirnya, aku yang awalnya tidak peduli¸menjadi tertarik untuk mengamati mereka. Si bungsu duduk tepat di depanku, terdekat dengan jendela. Usianya mungkin sama dengan adikku yang masih SD. Menjadi bahan gojlokan untuk kedua kakaknya yang duduk disampingku. Bukan gojlokan menghina, bukan, ini gojlokan sayang. Belum beberapa lama kereta beranjak dari Wonokromo, si Bungsu sudah terkantuk-kantuk. Sang ibu memindahkannya ke bangku tengah agar dia bisa tidur dengan lebih nyaman.

Ibu mereka seperti ibu-ibu pada umumnya, gemuk, berkerudung, sedikit cerewet, tapi seperti ibu lainnya, Beliau memancarkan kasih sayang. Sang ayah duduk di sisi terjauh dariku. Sejak pertama duduk, Beliau sudah menebarkan senyum lembut, “Turun dimana, Mbak?”. Di Stasiun Lawang, jawabku. Usianya tak lebih tua dari ayahku, sinar matanya lembut, teduh, dan ramah tentu saja. Sesekali aku ikut tersenyum mendengar guyonan dari anak-anak mereka, dan si Bapak ikut tersenyum ke arahku seakan berkata, “ya begini lah, anak-anak saya harap maklum, Mbak”. Dua anak laki-lakinya yang lain, aku tak begitu tau-yang jelas berperawakan sama seperti ibunya. Seorang Mahasiswa di Malang, dan yang satu lagi entahlah, Ku tebak masih duduk di Bangku SMA.

Kereta terus melaju, tidak ada yang bisa dilihat atau diamati dari dalam situ. Karena jendela hanya menunjukkan satu warna dominan-hitam pekat.  Maka sekali lagi aku mengamati keluarga ini. Tidak bisa dibilang sebuah keluarga kecil, karena mereka bertubuh yang memang tidak kecil.  Mereka kedinginan, karena memang AC kereta kelas ekonomi di setting dengan suhu yang rendah. Menyejukkan di saat siang hari, tapi tentu menggigilkan saat malam seperti ini. Sang Ibu mengeluarkan beberapa lembarkain-yang merupakan kerudungnya-untuk anak-anaknya yang mulai kedinginan. Mempererat pelukannya pada si Bungsu, agar tidurnya semakin lelap.

Maka cerita dan percakapan dimulai, Sang ayah menceritakan apapun tentang masa lalunya,tentangBung Karno, tentang sekolahnya dulu, tentang Ibu mereka, tentang apa saja. Dan kedua anak lelakinya menanggapi dengan celetukan-celeukan lucu, sekali lagi aku tersenyum mendengar mereka. Sang ayah bercerita dengan santai, Sang Ibu menambahkan ini-itu pada bagian cerita yang mungkin Sang Ayah ragu atau lupa detailnya. Ah iya! Yang menarik kedua anak mereka masih menggunakan bahasa jawa halus untuk berbicara dengan orang tua mereka. Berbicara dan menanggapi dengan rasa hormat dan santun. Bukan hormat karena takut, tapi karena hormat yang sesungguhnya.
Berada bersama mereka yang mungkin tidak lebih dari 2 jam ini rasanya menyenangkan. Suasana, kesederhanaan, dan rasa nyaman yang terjalin diantara mereka semua.

Tidak ada yang istimewa, semua seperti yang seharusnya dalam sebuah keluarga. Mungkin karena hal-hal sederhana dan biasa sudah jarang ditemukan disekitar kita. Mereka hanya saling menyayangi tanpa pamrih, mereka hanya saling menghormati tanpa ada paksaan untuk melakukannya. Genuine, sincerity!
Keluarga, Sungguh bahagia bisa sesederhana ini.
Emm, ini hal biasa-sangat biasa bagi sebagian besar orang. Sesuatu yang biasa yang kadang aku merasa tak memilikinya. Haha, entahlah tidak kurasakan rasa yang seperti itu, sesederhana itu. Bukan, karena aku tak cinta keluargaku, jangan ditanya betapa aku cinta mereka-terutama Ibuku! Tapi ada beberapa hal sederhana dan biasa yang terenggut dari keluarga kami, sebelum aku mampu menyadari apa arti keluarga. Lupakan yang sudah lalu-bukankah harusnya begitu?

 Stasiun Lawang, membuatku harus turun dan berhenti mengamati keluarga ini. Mereka masih akan melanjutkan perjalanan hingga Stasiun Wlingi, Blitar. Di Dalam angkot, jauh dari keluarga itu, entahlah masih teringat rasa hangat dan nyaman itu-bahkan aku masih tersenyum kecil ketika menuliskan ini. Ku tulis ini memang, agar aku ingat bahwa rasa nyaman dan bahagia itu bisa sesederhana ini. Sesederhana ini pula lah aku ingin memilikinya untuk nanti, masa depanku, untuk nanti yang akan menjadi keluarga kecilku. Kepada siapa, kapan, dan dimana aku bahkan tidak tahu menahu. Tapi tentu saja mengharapkan sesuatu yang membahagiakan, tidaklah salah kan? Tidak perlu yang muluk-muluk, asal nyaman, sayang, dan rasa hangat yang dapat dirasakan bahkan ketika tidak bersama. Karena Entahlah, ternyata Bahagia bisa sesederhana ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar