Ekonomi 4 :17c
Itu adalah deretan
huruf dan angka yang menunjukkan dimana aku harus duduk- Gerbong 4 kursi nomor
17c. Kereta ekonomi penataran ini akan menghantarkan ku kembali ke Malang dari
Stasiun Gubeng, Surabaya.Sendirian duduk diantara 3 bangku yang saling
berhadapan. Sibuk memasang headset dan
sudah siap untuk terlelap sepanjang perjalan.
10 menit dari
Gubeng, kereta berhenti di Stasiun Wonokromo. Deretan bangku yang kosong
disamping dan di hadapanku kini terpenuhi oleh 5 orang-mereka satu keluarga.
Seorang ayah, ibu dengan ketiga anaknya-yang semuanya laki-laki. Mereka sibuk
menaikkan barang bawaan, aku? masih sibuk dengan smartphone, membaca ini itu,
mendengarkan lagu ini itu.
Lalu akhirnya, aku
yang awalnya tidak peduli¸menjadi tertarik untuk mengamati mereka. Si bungsu
duduk tepat di depanku, terdekat dengan jendela. Usianya mungkin sama dengan
adikku yang masih SD. Menjadi bahan gojlokan untuk kedua kakaknya yang duduk
disampingku. Bukan gojlokan menghina, bukan, ini gojlokan sayang. Belum
beberapa lama kereta beranjak dari Wonokromo, si Bungsu sudah terkantuk-kantuk.
Sang ibu memindahkannya ke bangku tengah agar dia bisa tidur dengan lebih
nyaman.
Ibu mereka seperti
ibu-ibu pada umumnya, gemuk, berkerudung, sedikit cerewet, tapi seperti ibu
lainnya, Beliau memancarkan kasih sayang. Sang ayah duduk di sisi terjauh
dariku. Sejak pertama duduk, Beliau sudah menebarkan senyum lembut, “Turun
dimana, Mbak?”. Di Stasiun Lawang, jawabku. Usianya tak lebih tua dari ayahku,
sinar matanya lembut, teduh, dan ramah tentu saja. Sesekali aku ikut tersenyum
mendengar guyonan dari anak-anak mereka, dan si Bapak ikut tersenyum ke arahku
seakan berkata, “ya begini lah, anak-anak saya harap maklum, Mbak”. Dua anak
laki-lakinya yang lain, aku tak begitu tau-yang jelas berperawakan sama seperti
ibunya. Seorang Mahasiswa di Malang, dan yang satu lagi entahlah, Ku tebak
masih duduk di Bangku SMA.
Kereta terus melaju,
tidak ada yang bisa dilihat atau diamati dari dalam situ. Karena jendela hanya
menunjukkan satu warna dominan-hitam pekat. Maka sekali lagi aku mengamati keluarga ini.
Tidak bisa dibilang sebuah keluarga kecil, karena mereka bertubuh yang memang
tidak kecil. Mereka kedinginan, karena
memang AC kereta kelas ekonomi di setting dengan suhu yang rendah. Menyejukkan
di saat siang hari, tapi tentu menggigilkan saat malam seperti ini. Sang Ibu
mengeluarkan beberapa lembarkain-yang merupakan kerudungnya-untuk anak-anaknya
yang mulai kedinginan. Mempererat pelukannya pada si Bungsu, agar tidurnya
semakin lelap.
Maka cerita dan
percakapan dimulai, Sang ayah menceritakan apapun tentang masa
lalunya,tentangBung Karno, tentang sekolahnya dulu, tentang Ibu mereka, tentang
apa saja. Dan kedua anak lelakinya menanggapi dengan celetukan-celeukan lucu,
sekali lagi aku tersenyum mendengar mereka. Sang ayah bercerita dengan santai,
Sang Ibu menambahkan ini-itu pada bagian cerita yang mungkin Sang Ayah ragu
atau lupa detailnya. Ah iya! Yang menarik kedua anak mereka masih menggunakan
bahasa jawa halus untuk berbicara dengan orang tua mereka. Berbicara dan
menanggapi dengan rasa hormat dan santun. Bukan hormat karena takut, tapi
karena hormat yang sesungguhnya.
Berada bersama
mereka yang mungkin tidak lebih dari 2 jam ini rasanya menyenangkan. Suasana,
kesederhanaan, dan rasa nyaman yang terjalin diantara mereka semua.
Tidak ada yang
istimewa, semua seperti yang seharusnya dalam sebuah keluarga. Mungkin karena
hal-hal sederhana dan biasa sudah jarang ditemukan disekitar kita. Mereka hanya
saling menyayangi tanpa pamrih, mereka hanya saling menghormati tanpa ada
paksaan untuk melakukannya. Genuine, sincerity!
Keluarga, Sungguh
bahagia bisa sesederhana ini.
Emm, ini hal
biasa-sangat biasa bagi sebagian besar orang. Sesuatu yang biasa yang kadang
aku merasa tak memilikinya. Haha, entahlah tidak kurasakan rasa yang seperti
itu, sesederhana itu. Bukan, karena aku tak cinta keluargaku, jangan ditanya
betapa aku cinta mereka-terutama Ibuku! Tapi ada beberapa hal sederhana dan
biasa yang terenggut dari keluarga kami, sebelum aku mampu menyadari apa arti
keluarga. Lupakan yang sudah lalu-bukankah harusnya begitu?
Stasiun Lawang, membuatku harus turun dan
berhenti mengamati keluarga ini. Mereka masih akan melanjutkan perjalanan
hingga Stasiun Wlingi, Blitar. Di Dalam angkot, jauh dari keluarga itu,
entahlah masih teringat rasa hangat dan nyaman itu-bahkan aku masih tersenyum
kecil ketika menuliskan ini. Ku tulis ini memang, agar aku ingat bahwa rasa
nyaman dan bahagia itu bisa sesederhana ini. Sesederhana ini pula lah aku ingin
memilikinya untuk nanti, masa depanku, untuk nanti yang akan menjadi keluarga
kecilku. Kepada siapa, kapan, dan dimana aku bahkan tidak tahu menahu. Tapi
tentu saja mengharapkan sesuatu yang membahagiakan, tidaklah salah kan? Tidak
perlu yang muluk-muluk, asal nyaman, sayang, dan rasa hangat yang dapat
dirasakan bahkan ketika tidak bersama. Karena Entahlah, ternyata Bahagia bisa
sesederhana ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar