Rabu, 10 Juni 2015

Mengapa Harus Menulis?



“Berita buruk dan menyedihkan akan semakin menyakitkan ketika disampaikan dalam bentuk tulisan."


Entahlah aku lupa tepatnya kapan dan dari siapa aku mendengar pernyataan itu. Tapi memang benar adanya. Hal-hal buruk akan semakin menyakitkan untuk diketahui apabila disampaikan melalui media tertulis. Mengapa? Karena kita dapat berulang kali membacanya, dan berulang kali pula kita merasakan kecewa, sedih, dan sakit hati ketika membacanya kembali. Ah, percayalah  tidak ada yang akan pernah terbiasa dengan serangan sakit hati, tidak!

Begitu pula yang terjadi pada berita baik yang disampaikan dalam bentuk tulisan. Akan ada saatnya kita tersenyum sendiri ketika membaca ulang chat dari pacar-gebetan-atau selingkuhan (?). Akan ada saatnya kita akan merasa bahagia setiap membaca hal-hal yang menggembirakan, membacanya akan mengingatkan pada momen-momen membahagiakan itu.

Itulah poin pentingnya, tulisan membuat kita tidak akan pernah lupa. Tidak lupa pada hal-hal yang buruk. Tidak lupa juga pada saat yang membahagiakan itu. Kita hidup dalam dunia yang terus berjalan maju tanpa ada tombol pause atau rewind. Momennya mungkin saja dapat terulang kembali, tapi waktu? Selama para ilmuwan belum juga menemukan mesin waktu, maka waktu akan terus bergerak maju. Kita hidup didalamnya, dalam sehari penuh dengan banyak kejadian dan momen, sementara otak kita tidak punya daya sebesar itu untuk menampung setiap momen, setiap pembelajaran. Untuk itu kita menulis, kan?

Sering kali aku menulis, untuk mengingatkan diriku sendiri. Mengingatkan diriku untuk tidak terlalu berharap banyak tapi tetap memiliki mimpi dan fantasi yang berusaha untuk diwujudkan. Mengingatkan diri sendiri tentang banyaknya sesuatu yang dapat dipelajari –kehidupan, agama, social dan apapun, pelajaran yang mungkin hanya didapat dari ngobrol remeh-temeh dengan seorang teman. Mengingatkan diri sendiri ingin jadi siapa, apa, dan bagaimana di masa depan, mengingatkan diri sendiri akan banyaknya momen yang perlu diperbaiki dan juga disyukuri. Bila tidak ditulis? Yaaa mereka semua hanya akan terlewatkan begitu saja. Manusia kan tempatnya lupa. Haha

Kenapa harus ditulis? Supaya bisa dibaca kembali.
Paling tidak dibaca kembali oleh si penulis. Syukur-syukur bisa dinikmati oleh pembaca lainnya.
Bisa menginspirasi dan pengingat bagi diri sendiri. Ya syukur-syukur bisa menginspirasi dan mengingatkan orang lain yang mau ikut membaca.
Bila tidak menulis, kita hanya akan hilang ditelan gelombang lupa, hilang ditelan jaman.


“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer


Senin, 08 Juni 2015

Bahagia yang Sesederhana ini..



Ekonomi 4 :17c
Itu adalah deretan huruf dan angka yang menunjukkan dimana aku harus duduk- Gerbong 4 kursi nomor 17c. Kereta ekonomi penataran ini akan menghantarkan ku kembali ke Malang dari Stasiun Gubeng, Surabaya.Sendirian duduk diantara 3 bangku yang saling berhadapan. Sibuk memasang  headset dan sudah siap untuk terlelap sepanjang perjalan.

10 menit dari Gubeng, kereta berhenti di Stasiun Wonokromo. Deretan bangku yang kosong disamping dan di hadapanku kini terpenuhi oleh 5 orang-mereka satu keluarga. Seorang ayah, ibu dengan ketiga anaknya-yang semuanya laki-laki. Mereka sibuk menaikkan barang bawaan, aku? masih sibuk dengan smartphone, membaca ini itu, mendengarkan lagu ini itu.

Lalu akhirnya, aku yang awalnya tidak peduli¸menjadi tertarik untuk mengamati mereka. Si bungsu duduk tepat di depanku, terdekat dengan jendela. Usianya mungkin sama dengan adikku yang masih SD. Menjadi bahan gojlokan untuk kedua kakaknya yang duduk disampingku. Bukan gojlokan menghina, bukan, ini gojlokan sayang. Belum beberapa lama kereta beranjak dari Wonokromo, si Bungsu sudah terkantuk-kantuk. Sang ibu memindahkannya ke bangku tengah agar dia bisa tidur dengan lebih nyaman.

Ibu mereka seperti ibu-ibu pada umumnya, gemuk, berkerudung, sedikit cerewet, tapi seperti ibu lainnya, Beliau memancarkan kasih sayang. Sang ayah duduk di sisi terjauh dariku. Sejak pertama duduk, Beliau sudah menebarkan senyum lembut, “Turun dimana, Mbak?”. Di Stasiun Lawang, jawabku. Usianya tak lebih tua dari ayahku, sinar matanya lembut, teduh, dan ramah tentu saja. Sesekali aku ikut tersenyum mendengar guyonan dari anak-anak mereka, dan si Bapak ikut tersenyum ke arahku seakan berkata, “ya begini lah, anak-anak saya harap maklum, Mbak”. Dua anak laki-lakinya yang lain, aku tak begitu tau-yang jelas berperawakan sama seperti ibunya. Seorang Mahasiswa di Malang, dan yang satu lagi entahlah, Ku tebak masih duduk di Bangku SMA.

Kereta terus melaju, tidak ada yang bisa dilihat atau diamati dari dalam situ. Karena jendela hanya menunjukkan satu warna dominan-hitam pekat.  Maka sekali lagi aku mengamati keluarga ini. Tidak bisa dibilang sebuah keluarga kecil, karena mereka bertubuh yang memang tidak kecil.  Mereka kedinginan, karena memang AC kereta kelas ekonomi di setting dengan suhu yang rendah. Menyejukkan di saat siang hari, tapi tentu menggigilkan saat malam seperti ini. Sang Ibu mengeluarkan beberapa lembarkain-yang merupakan kerudungnya-untuk anak-anaknya yang mulai kedinginan. Mempererat pelukannya pada si Bungsu, agar tidurnya semakin lelap.

Maka cerita dan percakapan dimulai, Sang ayah menceritakan apapun tentang masa lalunya,tentangBung Karno, tentang sekolahnya dulu, tentang Ibu mereka, tentang apa saja. Dan kedua anak lelakinya menanggapi dengan celetukan-celeukan lucu, sekali lagi aku tersenyum mendengar mereka. Sang ayah bercerita dengan santai, Sang Ibu menambahkan ini-itu pada bagian cerita yang mungkin Sang Ayah ragu atau lupa detailnya. Ah iya! Yang menarik kedua anak mereka masih menggunakan bahasa jawa halus untuk berbicara dengan orang tua mereka. Berbicara dan menanggapi dengan rasa hormat dan santun. Bukan hormat karena takut, tapi karena hormat yang sesungguhnya.
Berada bersama mereka yang mungkin tidak lebih dari 2 jam ini rasanya menyenangkan. Suasana, kesederhanaan, dan rasa nyaman yang terjalin diantara mereka semua.

Tidak ada yang istimewa, semua seperti yang seharusnya dalam sebuah keluarga. Mungkin karena hal-hal sederhana dan biasa sudah jarang ditemukan disekitar kita. Mereka hanya saling menyayangi tanpa pamrih, mereka hanya saling menghormati tanpa ada paksaan untuk melakukannya. Genuine, sincerity!
Keluarga, Sungguh bahagia bisa sesederhana ini.
Emm, ini hal biasa-sangat biasa bagi sebagian besar orang. Sesuatu yang biasa yang kadang aku merasa tak memilikinya. Haha, entahlah tidak kurasakan rasa yang seperti itu, sesederhana itu. Bukan, karena aku tak cinta keluargaku, jangan ditanya betapa aku cinta mereka-terutama Ibuku! Tapi ada beberapa hal sederhana dan biasa yang terenggut dari keluarga kami, sebelum aku mampu menyadari apa arti keluarga. Lupakan yang sudah lalu-bukankah harusnya begitu?

 Stasiun Lawang, membuatku harus turun dan berhenti mengamati keluarga ini. Mereka masih akan melanjutkan perjalanan hingga Stasiun Wlingi, Blitar. Di Dalam angkot, jauh dari keluarga itu, entahlah masih teringat rasa hangat dan nyaman itu-bahkan aku masih tersenyum kecil ketika menuliskan ini. Ku tulis ini memang, agar aku ingat bahwa rasa nyaman dan bahagia itu bisa sesederhana ini. Sesederhana ini pula lah aku ingin memilikinya untuk nanti, masa depanku, untuk nanti yang akan menjadi keluarga kecilku. Kepada siapa, kapan, dan dimana aku bahkan tidak tahu menahu. Tapi tentu saja mengharapkan sesuatu yang membahagiakan, tidaklah salah kan? Tidak perlu yang muluk-muluk, asal nyaman, sayang, dan rasa hangat yang dapat dirasakan bahkan ketika tidak bersama. Karena Entahlah, ternyata Bahagia bisa sesederhana ini.